Pdt Barnabas: Gaji Naik, Hukuman Berat Tak Cukup, Bangsa Ini Butuh Pembenahan Mentalitas
7PMNEWS.ID, MANADO-Meski gaji pejabat publik dinaikkan hingga ratusan juta rupiah dan hukuman korupsi diperberat, kasus korupsi di Indonesia justru kian merajalela.
Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat 791 kasus korupsi sepanjang 2023 dengan 1.695 tersangka, serta potensi kerugian negara mencapai Rp28,4 triliun (ICW, 2024).
Tahun 2024, Kejaksaan Agung RI menangani 2.316 perkara korupsi, menyelamatkan Rp44,13 triliun uang negara dan menyetor Rp1,69 triliun ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak (Kejaksaan.go.id, 2024).
Sementara itu, Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) dari BPS justru menurun dari 3,92 (2023) menjadi 3,85 (2024), menandakan bahwa masyarakat Indonesia semakin permisif terhadap praktik-praktik korupsi (BPS, 2024).
Ditemui di Bandara Sam Ratulangi Manado, Pdt Barnabas Sumampouw, S.Th., CHt (IACT–CCH USA), CI, di tengah kesibukannya mendampingi rombongan Wakil Gubernur Kalimantan Utara yang sedang berkunjung ke Manado, menyampaikan gagasan kuat mengenai perlunya pendekatan baru untuk menghadapi budaya korupsi: yaitu hipnosis dan hipnoterapi.
Pendeta dan praktisi hipnoterapi dari Indonesian Hypnosis Centre (IHC), pendiri GRIYA SEHAT: BPS Hypnotherapy Centre, dan Ketua DPD KITA IHC Sulawesi Utara mengungkapkan korupsi itu bukan sekadar pelanggaran hukum. Ia adalah gejala batin yang tidak sehat—yang tumbuh dari luka jiwa, kekosongan nilai, dan hilangnya kepekaan nurani.
Ia menekankan bahwa hipnosis dapat ditanamkan sejak awal dalam proses pembinaan karakter untuk menanamkan nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, dan kesetiaan terhadap amanah, tidak hanya bagi ASN dan pejabat publik, tetapi juga semua pemimpin masyarakat.
Hipnoterapi, lanjutnya, mampu menjangkau ruang batin terdalam, termasuk: membongkar trauma, rasa tidak cukup, atau dorongan ingin tampil hebat dengan cara curang,
Membangun ulang kerangka berpikir yang berakar pada integritas dan spiritualitas sejati, mengembalikan seseorang kepada kehidupan batin yang seimbang, jujur, dan bebas dari pembenaran diri.
Ia juga menyinggung ironi sosial yang terjadi:
“Kadang kita temukan, bahkan orang-orang yang rajin menyebut nama Tuhan pun bisa ikut terlibat dalam penyimpangan jika suara hatinya tidak lagi jernih. Di sinilah kita belajar, bahwa spiritualitas sejati bukan ditentukan dari kata-kata atau simbol, melainkan dari integritas batin,” jelas Barnabas.
“Itu sebabnya, kalau negara-negara yang tidak banyak mengangkat simbol-simbol agama justru mampu menjalankan pemerintahan yang lebih bersih—seperti Norwegia, Denmark, atau bahkan Tiongkok yang sangat ketat terhadap integritas publik—kita perlu merenung: jangan-jangan masalahnya bukan terletak pada seberapa sering nilai agama dikumandangkan, tetapi seberapa dalam nilai-nilai itu benar-benar dihidupi.”
Karena itu, ia menegaskan:
Indonesia—khususnya Sulawesi Utara—memerlukan Pusat Pendidikan dan Kesehatan Mental Berbasis Psikoterapi Hipnosis.
Tempat ini bukan hanya untuk menangani individu yang mengalami gangguan, tetapi lebih dari itu: untuk membina dan menguatkan batin para pemimpin masa depan, pelayan publik, dan penggerak masyarakat.
“Kesadaran tak bisa dipaksakan dari luar. Tapi bisa dibangkitkan dari dalam. Dan di sinilah hipnosis dan hipnoterapi bekerja: membentuk manusia yang jujur bukan karena takut ditangkap, tapi karena takut mengkhianati nuraninya sendiri,” tutup Barnabas.
(kres)